[Book Review] The Way of Youth
Saturday, April 05, 2014
Sekitar sebulanan yang lalu, gue ke Bintaro Plaza tapi lupa ngapain aja. Yang gue inget adalah gue nemenin temen ke bazaar Gramedia gitu yang letaknya ada di parkiran mall. Lumayan banyak sih bukunya. Kebanyakan adalah buku-buku baru yang masih terplastik rapi tapi dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari biasanya. Di sana gue menemukan sebuah buku apik yang waktu baca judulnya aja gue udah tertarik. Setelah baca sinopsisnya gue lebih tertarik dan setelah liat harganya... gue makin tertarik lagi. Judulnya The Way of Youth karya Daisaku Ikeda. Buku ini hampir selalu bikin gue bilang, "Ah ini mah gue banget!" atau bahkan, "Ih ini sih kayak si ini banget!" pas gue baca. Mungkin isi buku ini rada klise buat beberapa orang. Tapi karena gue pribadi ngerasa kayak ini buku tuh gue banget, so there's no reason not to love this book!
Buku ini membuka mata gue bahwa gue itu nggak sendiri. Gue bukan satu-satunya orang yang merasa insecure dan sulit menghargai diri sendiri. Bukan juga satu-satunya orang yang merasa hidup itu terlalu complicated, semata-mata karena gue bingung harus mengikuti keinginan pribadi atau orang tua. Dan lain sebagainya sampai urusan persahabatan bahkan cinta.
Bab awal bicara tentang keluarga. Gue seneng banget waktu baca pembahasan tentang orang tua yang tidak kaya. Gue sering banget ngerasa kekurangan. Terutama saat lingkungan dan zaman memaksa gue untuk bisa ikut andil di dalamnya. Atau gue kadang bisa dengan gampangnya iri sama keluarga yang punya banyak quality time. Kadang suka tiba-tiba benci dan ungrateful aja sama apa yang Allah kasih. Tapi setelah baca buku ini, gue pun mengiyakan sebuah statement yang bilang kalau seperti apapun mereka ya itu tetep orang tua lo. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, peraturannya, dan dengan segala usahanya. Kalau mereka nggak ada, lo nggak bakal hidup. Atau sebuah statement yang bilang kalau hanya dengan mengalami kesulitan, kita baru bisa menjadi orang yang mengerti perasaan orang lain. Mungkin kalau gue hidup berkecukupan, gue nggak akan ngerasain gimana susah dan capeknya kerja atau bahkan sekedar nabung untuk beli sesuatu. Mungkin juga gue nggak akan bisa ngerasain gimana susahnya orang-orang di luar sana untuk sekedar makan atau bayar kuliah. Gue akan selalu minta ini itu sama orang tua sampe gue lupa buat usaha sendiri. Semua kesulitan yang ada justru bikin gue sadar bahwa untuk survive itu emang nggak mudah. Pada akhirnya gue tetep harus bersyukur karena Allah pilih gue untuk belajar survive dari sekarang.
Selanjutnya tentang persahabatan. Kita emang nggak bisa milih kita mau lahir di keluarga yang seperti apa, tapi kita bisa milih dengan siapa kita mau berteman dan bersahabat. Dan ternyata buku ini pun mengutarakan statement yang sama. Nyari temen bahkan sahabat yang tepat dan bisa ngertiin kita apa adanya itu susah. Kita nggak bisa baca isi hati orang lain. Hati manusia terlalu rumit. Orang selalu berubah. Makanya jangan heran kalau ada persahabatan yang kandas di tengah jalan. Bukan lo yang salah, bukan sahabat lo juga yang salah. Tapi mungkin salah satu di antara lo berubah dan nggak siap untuk terima perubahan satu sama lain. Akhirnya lebih memilih untuk cari lingkungan baru yang bisa terima perubahan itu. Yang penting intinya satu sih. Tulus. Sepanjang lo memperhatikan orang lain dengan tulus, maka pada suatu hari hati lo bisa membuat mereka mendengar lo.
Lanjut soal cinta nih. Jadi ada kalimat yang bikin gue jadi cukup santai setelah baca itu. Ada saat tersendiri untuk masing-masing hal di dalam kehidupan. Ada saatnya muda, saatnya memasuki dunia dewasa, saatnya hamil, punya anak, dan seterusnya. Bergerak maju selangkah demi selangkah ke dalam setiap tahap itu sesuai dengan kewajaran. Cocoklah buat yang udah ngebet banget buat punya pacar terus nikah. Tenang, semua ada waktunya. Nikmatin aja setiap perjalanannya karena belum tentu akan keulang lagi. Allah selalu melihat kesiapan lo. Kalau sampai saat ini lo nggak punya pacar, ya udah mungkin pacar atau bahkan jodoh lo lagi dipersiapkan. Nggak dikasih sekarang supaya mungkin lo nggak pusing-pusing mikirin sakit hati dan lain sebagainya dulu. Atau mungkin lo lagi ditempatkan di zona indah Tuhan supaya lo nggak didekatkan dengan hal-hal yang nggak baik dan bikin lo pusing.
Lanjut soal cinta nih. Jadi ada kalimat yang bikin gue jadi cukup santai setelah baca itu. Ada saat tersendiri untuk masing-masing hal di dalam kehidupan. Ada saatnya muda, saatnya memasuki dunia dewasa, saatnya hamil, punya anak, dan seterusnya. Bergerak maju selangkah demi selangkah ke dalam setiap tahap itu sesuai dengan kewajaran. Cocoklah buat yang udah ngebet banget buat punya pacar terus nikah. Tenang, semua ada waktunya. Nikmatin aja setiap perjalanannya karena belum tentu akan keulang lagi. Allah selalu melihat kesiapan lo. Kalau sampai saat ini lo nggak punya pacar, ya udah mungkin pacar atau bahkan jodoh lo lagi dipersiapkan. Nggak dikasih sekarang supaya mungkin lo nggak pusing-pusing mikirin sakit hati dan lain sebagainya dulu. Atau mungkin lo lagi ditempatkan di zona indah Tuhan supaya lo nggak didekatkan dengan hal-hal yang nggak baik dan bikin lo pusing.
Masih banyak chapter-chapter berikutnya yang isinya juga nggak kalah oke dari chapter awal. Berhubung terlalu banyak, gue mau menyatukan kalimat-kalimat ciamik yang gue stabiloin aja di buku ini. Setelah gue satukan, isinya kira-kira gini:
Sebagai musim pertumbuhan, masa muda itu adalah saat yang baik untuk kebahagiaan dan kesengsaraan yang besar. Penuh dengan segala macam persoalan dan kecemasan. Tapi masa muda bukanlah saat untuk merasa pesimis atau kasihan pada diri sendiri. Setiap penderitaan yang kita alami justru yang akan membuat kita bisa bertumbuh kuat dan jadi orang dewasa yang dimampukan. Jangan lupa untuk utamakan kepribadian. Kepribadian itu seperti sungai. Pada suatu saat, tepiannya jelas terlihat. Kepribadian adalah bahan dari hidup dan cara hidup menentukan kebahagiaan. Suka atau tidaknya orang lain terhadap kita juga berbanding lurus dengan bagaimana kepribadian kita. Inget, sekali kita terjun ke masyarakat, nggak akan ada banyak orang yang akan begitu jujur.
Sebagai musim pertumbuhan, masa muda itu adalah saat yang baik untuk kebahagiaan dan kesengsaraan yang besar. Penuh dengan segala macam persoalan dan kecemasan. Tapi masa muda bukanlah saat untuk merasa pesimis atau kasihan pada diri sendiri. Setiap penderitaan yang kita alami justru yang akan membuat kita bisa bertumbuh kuat dan jadi orang dewasa yang dimampukan. Jangan lupa untuk utamakan kepribadian. Kepribadian itu seperti sungai. Pada suatu saat, tepiannya jelas terlihat. Kepribadian adalah bahan dari hidup dan cara hidup menentukan kebahagiaan. Suka atau tidaknya orang lain terhadap kita juga berbanding lurus dengan bagaimana kepribadian kita. Inget, sekali kita terjun ke masyarakat, nggak akan ada banyak orang yang akan begitu jujur.
Ini baru sebagian kecilnya. Masih ada bahasan tentang belajar, pekerjaan, impian dan tujuan, kepercayaan diri, dll. It greatly helps me and I hope you too. Oh ya, pas gue baca buku ini terutama di chapter-chapter awal, gue selalu inget salah satu sahabat baik gue. And I've bought one for her. Be home soon pretty.
0 komentar